Senin, 05 Desember 2011

Jangan Pernah Menyerah: "Sayang"

SEMBURAT sinar matahari sore masih menjilat bibir daun jagung di depan rumahku. Udara tenang. Terdengar sayup-sayup suara anak-anak bermain badminton di halaman rumah Pak Warso. Pak Warso adalah mantan Kepala SD yang saat ini menjabat sebagai Ketua RW di dusunku. Pejabat RT dan RW di mata masyarakat "lebih luar biasa" ketimbang anggota DPR, Menteri atau Presiden sekalipun. Sebab, lewat RT, RW, Dukuh, pemuda (Karangtaruna), pergulatan hidup masyarakat akan segera mendapat jawab, ketimbang menantikan suara DPR tentang nasib mereka. Setidaknya, ketika mereka (masyarakat) sakit, menderita, terlilit utang, serta ketika diuji oleh berbagai musibah, tampaknya akan lebih simpel lapor ke Pak RT, RW dan tokoh masyarakat setempat, ketimbang lapor ke Menteri, misalnya.
Sore itu, daun jagung seolah menari dan menyanyi, menyampaikan kabar bahwa beberapa bulan ke depan akan mengirim rupiah ke kocek para petani. Memang tidak terlalu besar sih. Tapi kan lumayan daripada tidak ada sama sekali. Lik Karto dan anaknya yang mungil, Dik Karti, sore itu dan setiap sore selama beberapa hari terakhir memompa semangatnya, menanam mimpi,  di ladang depan rumahku. Ia tidak benci kemewahan, tapi ia juga tidak mau hidup sengsara selama-lamanya. Ia manusia biasa yang menginginkan memiliki HP, motor, sekadar bisa jajan bakso ke Pracimantoro, atau merencanakan pernikahan dengan nanggap campursari. Memang orang desa sebagai "orang kecil" dengan postur tubuh kecil pula, jarang yang berobsesi menjadi pemimpin partai politik, misalnya.Atau menjadi orang penting yang setiap hari muncul di televisi dengan akting perdebatan sengitnya, namun masih kurang dari satu jam mereka tampak makan bareng dan berangkulan. Orang desa paling sulit untuk berpura-pura dan bertindak munafik. Kalau sudah benci, ya benci. Kayaknya mereka tak mau mengisi hidup ini dengan kepura-puraan dan tipu muslihat.
Maka, kalimat "jangan pernah menyerah: sayang" selalu meluncur dari bibir Lik Karto kepada anaknya yang kami panggil Dik Karti.  Ia ucapkan kalimat itu berulang-ulang, terutama ketika Dik Karti mau berangkat tidur. Bagi Lik Karto, meskipun putrinya tersayang itu tidak memperoleh keindahan dalam hidup kesehariannya, setidaknya bisa merangkai keindahan lewat mimpi-mimpinya. "Aku sangat mencintaimu sayang, anak semata wayangku", gumamnya.****